Selasa, 15 Mei 2012

PENGERTIAN BIMBINGAN DAN KONSELING



Secara etimologis kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata “Guidance” berasal dari kata kerja “to guide” yang mempunyai arti “menunjukan, membimbing, menuntun, ataupun membantu”. Sesuai dengan istilahnya, maka secara umum bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan atau tuntunan.
Prayitno dan Erman Amti (2004:99) mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
I. Djumhur dan Moh. Surya, (1975:15) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa: Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa bimbingan pada prinsipnya adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu dalam hal memahami diri sendiri, menghubungkan pemahaman tentang dirinya sendiri dengan lingkungan, memilih, menentukan dan menyusun rencana sesuai dengan konsep dirinya dan tuntutan lingkungan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Berdasarkan rumusan tentang bimbingan di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur pokok bimbingan sebagai berikut:
1.        Pelayanan bimbingan merupakan suatu proses. Ini berarti bahwa pelayananbimbingan bukan sesuatu yang sekali jadi, melainkan melalui liku-liku tertentu dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan ini.
2.        Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan (bantuan yang bersifat menunjang bagi pengembangan pribadi individu yang dibimbing).
3.        Bantuan itu diberikan kepada individu, baik perseorangan maupun kelompok.
4.        Pemecahan masalah dalambimbingan dilakukan oleh dan atas kekuatan klien sendiri.
5.        Bimbingan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai bahan, interaksi, nasehat ataupun gagasan, serta alat-alat tertentu baik yang berasal dari klien sendiri, konselor,maupun lingkungan.
6.        Bimbingan tidak hanya diberikan untuk kelompok-kelompok umur tertentu saja,tetapi meliputi semua usia,mulai dari anak-anak, remaja,dan orang dewasa.
7.        Bimbingan diberikan oleh orang-orang yang ahli.
8.        Pembimbing tidak selayaknya memaksakan keinginan-keinginannya kepada klien.
9.        Bimbingan dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Sedangkan konseling, secara Etimologi berasal dari bahasa Latin “consilium “artinya “dengan” atau bersama” yang dirangkai dengan “menerima atau “memahami” . Sedangkan dalam Bahasa Anglo Saxon istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti”menyerahkan” atau “menyampaikan”
Menurut Prayitno dan Erman Amti (2004:105) konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Sejalan dengan itu, Winkel (2005:34) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus.
Dalam wawancara konseling itu klien mengemukakan masalah-masalah yang sedang dihadapinya kepada konselor,dan konselormenciptakan suasana hubungan yang akrab dengan menerapkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik wawancara konseling sedemikian rupa, sehingga masalahnya itu terjelajahi segenap seginya dan pribadi klien terangsang untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi dengan menggunakan kekuatannya sendiri.
Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Bimbingan dan Konseling, “Proses interaksi antara konselor dengan klien/konselee baik secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung (melalui media : internet, atau telepon) dalam rangka membantu klien agar dapat mengembangkan potensi dirinya atau memecahkan masalah yang dialaminya”.

Dalam pengertian tersebut tersimpul hal-hal pokok bahwa :
Ø    Bimbingan dan konseling merupakan pelayanan bantuan
Ø    Pelayanan Bimbingan dan konseling dilakukan melalui kegiatan secara perorangan dan kelompok
Ø    Arah kegiatan Bimbingan dan konseling adalah membantu peserta didik untuk dapat melaksanakan kehidupan sehari-hari secara mandiri dan berkembang secara optimal
Ø    Ada empat bidang bimbingan yaitu bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Ø    Pelayanan Bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui jenis-jenis layanan tertentu, ditunjang sejumlah kegiatan pendukung
Ø    Pelayanan Bimbingan dan konseling harus didasarkan pada norma-norma yang berlaku

ISTILAH PENYULUHAN DAN KONSELING
Bila ditinjau dari segi sejarah perkembangannya ilmu bimbingan dan konseling di Indonesia, maka sebenarnya istilah bimbingan dan konseling pada awalnya dikenal dengan istilah bimbingan dan penyuluhan yang merupakan terjemahan dari istilah guidance and counseling. Penggunaan istilah bimbingan dan penyuluhan sebagai terjemahan dari kata guidance and counseling ini diceruskan oleh Tatang Mahmud, MA. Seorang pejabat Depatemen Tenaga Kerja Republik Indonesia pada tahun 1953. Sebagaimana yang dikemukakan oleh DR. Tohari Musnawar (1985:8)
Menurut riwayatnya, penggunaan istilah penyuluhan sebagai terjemahan counseling, sudah dimulai sejak tahun 1953. pencetusnya Tatang Mahmud., MA. Seorang pejabat di Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Pada tahun tersebut ia menyebarkan suatu edaran untuk meminta persetujuan kepada beberapa orang yang dipandang ahli, apakah istilah “guidance and conseling dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia Bimbingan dan Penyuluhan. Pada waktu itu ternyata tidak ada yang menolaknya. Oleh karena itu Tatang Mahmud untuk mencarikan terjemahan istilah Guidance and Counseling ini dengan istilah Bimbingan dan Penyuluhan itu tidak ada yang membantahnya, maka sejak saat itu populerlah istilah bimbingan dan penyuluhan sebagai terjemahan istilah Guidance and Counseling.
Sejak tahun 1960-an istilah bimbingan dan penyuluhan seperti telah memasyarakat, khususnya di kalangan persekolahan. Namun sejak awal tahun 1970-an muncul istilah "penyuluhan" yang sama sekali di luar pengertian konseling. "Penyuluhan" dalam pengertiannya yang kemudian itu lebih mengarah pada usaha-usaha suatu badan, baik pemerintah maupun swasta dalam rangka meningkatkan kesadaran, pemahaman, sikap dan keterampilan warga masyarakat berkenaan dengan hal tertentu. Misalnya "Penyuluhan Pertanian" bermaksud meningkatkan kesadaran, pemahaman, sikap, dan keterampilan warga masyarakat, khususnya petani, berkenaan dengan aspek pertanian tertentu, seperti cara-cara bertanam, pemilihan bibit, penggunaan pupuk, pemberantasan hama dan sebagainya.
Penggunaan istilah penyuluhan dalam arti "konseling" dan penyuluhan dalam arti "pembinaan masyarakat" seolah-olah berlomba dan saling mempertahankan keberadaan masing-masing. Dalam "perlombaan" ini dapat dimengerti bahwa penyuluhan dalam arti kedua lebih memperoleh pasaran, dalam arti konseling semakin tertinggal dan terkungkung dalam lingkungannya sendiri, khususnya lingkungan sekolah. Yang lebih memprihatinkan lagi ialah istilah penyuluhan dalam arti konseling itu ternyata steril, tidak mampu memantapkan diri sendiri maupun pelayanannya kepada masyarakat. Dalam keadaan demikian dikhawatirkan pengertian penyuluhan dalam arti konseling akan makin luntur atau mungkin tidak dikenal di satu pihak, dan di pihak lain penggunaan penyuluhan dalam arti yang lainnya semakin luas dan sama sekali tidak terbendung.

Akibat yang lebih jauh ialah masyarakat akan menyamaratakan saja pengertian penyuluhan untuk konseling dan penyuluhan untuk arti yang lain itu. Tidak perlu diherankan apabila masyarakat akan menganggap bahwa tugas guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) di sekolah sama dengan tugas para penyuluh pertanian, penyuluh kesehatan dan sebagainnya. Padahal, pekerjaan konseling dan pekerjaan penyuluh pertanian dan sebagiannya itu sangat berbeda. Persamaan itu memang ada, tetapi perbedaan lebih menonjol dan substansial daripada persamaan itu. Adalah semacam kemustahilan apabila ada orang yang mengharapkan agar masyarakat dididik supaya mereka memahami perbedaan antara penyuluh dalam "bimbingan dan penyuluhan" dan penyuluhan dalam arti lain.

Sejak tahun 1980-an, gerakan bimbingan mulai di galakkan dengan menggunakan istilah konseling. Para pemakai istilah ini sengaja memakainnya untuk benar-benar menampilkan pelayanan yang sesungguhnya dari usaha yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pemakaian istilah konseling juga dimaksudkan untuk menggantikan istilah penyuluhan yang ternyata sudah dipakai secara meluas untuk pengertian yang bersifat non-konseling. Digalakkannya penggunaan istilah konseling itu menimbulkan semacam dua "aliran" dalam gerakan bimbingan di tanah air, yang pertama ingin tetap mempertahankan istilah bimbingan dan penyuluhan, sedangkan yang lain berkehendak memakai istilah bimbingan dan konseling. Keinginan yang pertama bertumpu pada alasan kesejahteraan dan kemurnian istilah yang khas Indonesia, disamping itu mereka terpaksa menginginkan suatu "status quo"; sedangkan kehendak yang lain mengacu pada ketetapan makna arti konseling di satu segi, dan di segi lain mengingat sudah dipakainya secara meluas istilah penyuluhan untuk kegiatan non-konseling di masyarakat. Alasan lain yang kiranya mendasari kehendak mereka yang lebih menyukai istilah konseling adalah istilah itu tampak lebih modern.

Masih dalam rangka ketidaksepakatan dalam penggunaan istilah "penyuluhan" dan "konseling", ada sejumlah orang yang berusaha mencari jalan tengah. Dengan mencari istilah baru yang bersifat asli Indonesia. Sayangnya, istilah baru ini, kalau memang ada, belum ditampilkan secara luas dan memasyarakat. Jalan tengah yang kedua adalah dengan membagi dua tingkat pelayanan bimbingan. Untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dipakai istilah bimbingan dan penyuluhan, dan untuk perguruan tinggi dipakai istilah bimbingan dan konseling. Jalan tengah yang kedua ini tidak tepat. Pertama, karena pelayanan bimbingan untuk siswa-siswa sekolah dasar, menengah dan mahasiswa pada dasarnya tidak berbeda. Pengertian, prinsip, asas dan aspek-aspek penyelenggaraannya pada dasarnya sama, yang terhadap anak-anak, remaja, pemuda, dan juga orang dewasa harus disesuaikan dengan keadaan pribadi dan lingkungan orang yang dilayani itu. Penyesuaian pelayanan ini sudah dengan sendirinya merupakan salah satu variasi dalam praktek bimbingan, dan konseling harus melalui variasi kompetensi seorang konselor. Kedua, jika untuk siswa-siswa sekolah dasar dan sekolah menengah dipakai istilah "penyuluhan" dan untuk mahasiswa dipakai istilah "konseling", istilah apa yang dipergunakan untuk masyarakat umum atau mereka yang berada di luar lingkungan sekolah? Untuk ini tidak ada jawaban yang dapat diberikan.
Berdasarkan uraian singkat tersebut, demi kemantapan profesi yang didambakan oleh semua, kiranya perlu dipakai satu istilah. Istilah yang dimaksud di sini adalah Konseling. Kalau ada istilah asli Indonesia yang belum pernah dipakai untuk pengertian-pengertian non-konseling, sebenarnya akan baik juga. Istilah baru ini, kalau memang ada, tentulah harus dikaji terlebih dahulu ketepatannya.


TUJUAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Dalam berbagai literatur tentang bimbingan dan konseling, para ahli mengemukakan tentang tujuan bimbingan dan konseling yang beragam, tetapi pada intinya akan menerucut pada tujuan yang sama yaitu tercapainya perkembangan para peserta didik/klien secara optimal dan tercapainya penyesuaian diri.. 

ASAS-ASAS BIMBINGAN DAN KONSELING

Penyelenggaraan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling selain dimuati oleh fungsi dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk memenuhi sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan/kegiatan, sedangkan pengingkarannya akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan pelaksanaan, serta mengurangi atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu sendiri.
Betapa pentingnya asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas ini tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan berjalan tersendat-sendat atau bahkan terhenti sama sekali.
Asas- asas bimbingan dan konseling tersebut adalah :
1.    Asas Kerahasiaan, Asas yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain.  Dalam hal ini, guru pembimbing (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
2.    Asas Kesukarelaan , Asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.
3.    Asas Keterbukaan, Asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan dan kekarelaan.
4.    Asas Kegiatan, Asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap layanan/kegiatan yang diberikan kepadanya.
5.    Asas Kemandirian, Asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing (konselor) hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
6.    Asas Kekinian, Asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan konseling yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien) pada saat sekarang.
7.    Asas Kedinamisan, Asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
8.    Asas Keterpaduan, Asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
9.    Asas Kenormatifan, Asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.
10.  Asas Keahlian, Asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
11.  Asas Alih Tangan Kasus, Asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor), dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.
12.  Asas Tut Wuri Handayani, Asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik (klien) untuk maju.

KESALAHPAHAMAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING DI INDONESIA
Prayitno Guru Besar Konseling dalam bukunya (Dasar-dasar bimbingan dan konseling) menjelaskan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling merupakan barang impor yang pengembangannya di Indonesia masih tergolong baru. Apalagi untuk penggunaan istilah saja masih belum adanya kesepakatan semua pihak, ada yang menggunakan istilah Penyuluhan dan Bimbingan, Penyuluhan dan konseling (ataupun hanya memakai istilah konseling saja. Makanya sering terjadinya kesalahpahaman di bidang bimbingan dan konseling ini. Patterson (dalam shertzer/stone, Fundamental of couseling) menjelaskan ada beberapa isu tentang pelayangan konseling salah satunya adalah, Profesi konseling adalah pekerjaan profesi profesional namun menjadi tidak profesional karena pelaksanaannya. Dikarenakan adanya pelaksanaan dari guru pembimbing yang salah sehingga profesi konseling tidak menjadi profesional.
Prayitno menjelaskan ada beberapa kesalahpahaman dalam bidang bimbingan dan konseling yang sampai saat ini terjadi dalam pelaksanaan konseling tersebut yakni sebagai berikut;

1.        Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.

Ada dua pendapat yang berbeda kaitannya dengan pelaksanaan bimbingan dan konseling.
a.     Bahwa bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Jadi dengan sendirinya sudah termasuk ke dalam usaha sekolah yang menyelenggararakan pendidikan. Sekolah tidak perlu bersusah payah menyelenggarakan bimbingan dan konseling secara mantap dan mandiri. Pendapat ini cenderung mengutamakan pengajaran dan mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan dan sama sekali tidak melihat pentingnya bimbingan dan konseling.
b.    Bimbingan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khusus oleh tenaga ahli dengan perlengkapan yang benar-benar memenuhi syarat. Pelayanan ini harus secara nyata dibedakan dari praktek pendidikan sehari-hari.
Kedua pendapat tersebut diatas adalah pandangan-pandangan ekstrem yang perlu dievaluasi. Memang secara umum bimbingan dan konseling di sekolah termasuk ke dalam ruang lingkup upaya pendidikan, namun bukan berarti pengajaran (yang baik) saja akan menjangkau seluruh misi pendidikan di sekolah. Sekolah juga harus memperhatikan kepentingan peserta didik untuk bisa membuat mereka berkembang secara optimal. Maka dalam hal ini, peran bimbingan dan konseling adalah menunjang seluruh usaha sekolah demi keberhasilan peserta didik.

2.    Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah

Masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan ”barangsiapa diantara siswa-siswa melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang bersalah dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa-siswa yang bersalah itu. Konselor didorong untuk mencari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengakua bahwa ia telah berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang ajar, atau merugikan.
Berdasarkan pandangan di atas, adalah wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia telah berbuat salah, atau predikat-predikat negative lainnya. Padahal sebaliknya, dari segenap anggapan yang merugikan itu, di sekolah konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa. Petugas bimbingan dan konseling adalah kawan pengiring petunjuk jalan, pembangun kekuatan, dan Pembina tingkah laku positif yang dikehendaki. 

3.    Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasehat

Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Disamping memerlukan pemberian nasehat, pada umumnya klien sesuai dengan problem yang dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain seperti pembrian informasi, penempatan dan penyaluran, konseling, bimbingan belajar, pengalih tangan kepada petugas yang lebih ahli dan berwenang, layanan kepada orang tua siswa dan masayarakat, dan sebagainya.
Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut serta mensinkronisasikan upaya yang satiu dan upaya lainnya sehingga keseluruhan upaya itu menjadi suatu rangkaian yang terpadu dan bersinambungan.

4.    Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat incidental

Pada hakikatnya pelayan itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Di samping itu konselor seyogyanya tidak hanya menunggu klien datang dan mengungkapkan masalahnya. Maka petugas bimbingan dan konseling harus terus memasyarakatkan dan membangun suasana bimbingan dan konseling, serta mampu melihat hal-hal tertentu yang perlu diolah ditanggulangi, diarahkan, dibangkitkan, dan secara umum diperhatikan demi perkembangan segenap individu.
5.   Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-kliean tertentu saja.
Bimbingan dan konseling tidak mengenal penggolonan siswa-siswa atas dasar mana golongan siswa tertentu dalam memperoleh palayanan yang lebih dari golongan yang lainnya. Semua siswa mendapat hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan dan bimbingan konseling, kapan, bagaimana, dan di mana pelayanan itu diberikan. Pertimbangannya semata-mata didasarkan atas sifat dan jenis masalah yang dihadapi serta ciri-ciri keseorangan siswa yang bersangkutan. Petugas bimbingan dan konseling membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi siapa saja siswa yang ingin mendapatkan atau memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling. 

6.    Bimbingan dan konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang normal”

Ada asumsi bahwa bimbingan konseling hanya melayani orang-orang normal yang mengalami masalah tertentu. Bukankah jika segenap fungsi yang ada pada diri seseorang yang normal dapat berjalan dengan baik, dia akan dapat menjalin kehidupannya secara normal pula? Kehidupan yang normal ini pasti menuju kebaikan dan kewajaran. Sayangnya, bekerjanya fungsi-fungsi yang sebenarnya normal itu kadang-kadang terganggu atau arahnya tidak tetap sehingga memerlukan bantuan konselor demi lebih lancar dan lebih terarahnya kegiatan fungsi-fungsi tersebut.
Jika seseorang ternyata mengalami keabnormalan tertentu, apalagi kalau sudah bersifat sakit jiwa, maka orang tersebut sudah seyogianya menjadi klien psikeater. Masalahnya ialah masih banyak konselor yang terlalu cepat menggolongkan atau setidak-tidaknya menyangka seseorang mengalami keabnormalan mental atau ketidaknormalan jiwa, sehingga terlalu cepat pula menghentikan pelayanan-pelayanan bimbingan dan konseling dan menyarankan klien agar pergi saja ke psikeater. Hal ini tentu saja tidak pada tempatnya atau bahkan berbahaya. Klien yang sebenarnya tidak sakit, tetapi oleh konselor dikirim ke dokter atau psikeater, pertama-tama akan menganggap bahwa konselor tersebut sebenarnya ahli; keahlianya adalah semua atau setidak-tidaknya diragukan. Sebagai akibatnya, klien tidak lagi mempercayainya. Konselor-konselor yang demikian itu akan memudarkan citra profesi bimbingan dan konseling. Kedua, klien berkemungkinan akan mempersepsi masalah yang dialaminya secara salah. Atau mungkin akan memprotes pengiriman yang salah alamat itu dan memeberikan reaksi-reaksi lain yang justru memperberat masalah yang dialaminya.

7.   Bimbingan dan konseling bekerja sendiri

Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang bekerja sendiri sarat dengan unsur-unsur budaya, social dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerjasama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang dihadapi oleh klien.
Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri. Masalah itu seringkali terkait dengan orangtua siswa, guru dan pihak-pihak lain; terkait pila dengan berbagai unsure lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu, penanggulangan tidak dilakukan sendiri oleh konselor saja. Dalam hal ini peranan guru, orang tua danpihak-pihak llain sering kali sangat menentukan. Konselor harus pandai menjalin hubungan kerjasama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah. 

8.    Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif

Sesuai asas kegiatan, disamping kinselor bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lainpun, terutama klien, harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut. Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Mereka hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakannpada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.

9.    Bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja

Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala dan atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun demikian, jika pembahasan masalah itu dilanjutkan, didalami, dan dikembangkan, seringkali ternyata bahwa masalah yang sebenarnya lebih jauh, lebih luas dan lebih pelik apa yang sekedar tampak atau disampaikan itu. Bahkan kadang– kadang masalah yang sebenarnya, sama sekali lain daripada yang tampak atau dikemukakan itu. Usaha pelayanan seharusnya dipusatkan pada masalah yang sebenarnya itu. Konselor tidak boleh terpukau oleh keluahan atau masalah yang pertama disampaikan oleh kien. Konselor harus mampu menyelami sedala-dalamnya masalah klien yang sebenarnya.

10.  Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakuka oleh siapa saja.

Pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja, jika dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran saja. Tapi jika pekerjaan bimbingan dan konseling dilaksanakan berdasarkan prinsip-prisip keilmuan (mengikuti filosofi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara professional, maka pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang.
Salah satu ciri profesionalnya adalah pelayanan itu dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup.

11.  Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater

Memang dalam hal-hal tertentu terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pkerjaan dokter atau pskiater, yaitu sama-sama menginginkan klien atau pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya. Di samping itu, baik konselor maupun dokter atau psikiater, memakai teknik-teknik yang sudah teruji pada bidang pelayananya masing-masing untuk mengungkapkan masalah klin/pasien, untuk melakukan pragnosis dan diagnosis, dan akhirnya menetapkan cara-cara pengentasan masalah atau penyembuhannya. Namun demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Baik dokter atau psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang sehat yang sedang mengalami masalah.
Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater ialah dengan memakai obat dan resep serta teknik pengobatan dokter atau psikiater lainnya, sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan masalah melalui jalan pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, penguatan tingkah laku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan, serta teknik-teknik bimbingan dan konseling lainnya, sedangkan bimbingan dan konseling memberikan jalan pemecahan masalah melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, penguatan tingkah laku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan, serta upaya-upaya perbaikan, serta tehnik-tehnik bimbingan dan konseling lainnya.

12.  Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat 

Usaha-usaha bimbingan dan konseling bukanlah hal yang instant, tapi menyangkut aspek-aspek psikologi/mental dan tingkah laku yang kompleks. Maka proses ini tidak bisa didesak-desakkan agar cepat matang dan selesai. Pendekatan ingin mencapai hasil segera justeru dapat melemahkan proses itu sendiri. Ini bukan berarti bahwa usaha bimbingan dan konseling boleh santai-santai saja menghadapi masalah klien, karena proses bimbingan dan konseling adalah hal yang serius dan penuh dinamika, maka harus wajar dan penuh tanggung jawab.
Petugas bimbingan dan konseling harus berusaha sebaik dan seoptimal mungkin dalam menghadapi masalah klien.

13.  Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien

Segala cara yang dipakai untuk mengatasi masalah harus disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cara yang sama, bahkan masalah yang sama sekalipun.
Pada dasarnya, pemakaian suatu cara tergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan konseling, dan sarana yang tersedia.

14.  Memusatkan usaha bimbibingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi dan konseling (misalnya tes, inventori, angket, dan alat pengungkap lainnya)

Perlu diketahui bahwa perlengkapan dan sarana utama yang pasti ada dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah ketrampilan pribadi. Dengan kata lain koselor tidak seharusnya terganggu dengan ada atau tiadanya instrument-instrumen pembantu (tes, inventori, angket, dan sebagainya). Petugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secar optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan.

15.  Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang ringan saja

Berat atau ringannya sebuah masalah bukanlah hal yang mudah untuk ditetapkan. Oleh karena itu, memberikan sifat ringan atau berat pada masalah yang dihadapi klien tidaklah perlu, karena hal itu tidak akan membantu meringankan usaha pemecahan masalah. Yang terpenting adalah bagaimana menanganinya dengan cermat dan tuntas.
Apabila seluruh kemampuan konselor tidak bisa mengatasi masalah klien, maka diperlukan pengalihtanganan. Pengalihtanganan tidak harus sekaligus kepada psikiater atau ahli-ahli lain diluar bidang bimbingan dan konseling. Alih tangan pada tahap pertama hendaknya dilakukan kepada sesama konselor sendiri yang memiliki keahlian yang lebih tinggi. Dan bila ternyata ditemukan gejala-gejala kelainan kejiwaan misalnya, maka ahli tangan sebaiknya diserahkan kepada psikiater.
Timbul pertanyaan kita bersama, mengapa kesalahpahaman ini terjadi? Ada beberapa penyebabnya yakni;
1.        Kesalahpahaman-kesalahpahaman diatas diakibatkan karena bidang BK masih tergolong baru dan merupakan produk impor sehingga menyebabkan para pelaksanaannya dilapangan belum terlalu mengetahui BK secara menyeluruh (Prayitno: Dasar-dasar bimbingan dan konseling, 2004).
2.        Penyebabnya dari konselor itu sendiri. Banyak yang bukan dari tamatan BK itu sendiri yang menjadi pelaksanan BK, sehingga tidak efesiennya pelaksanaan BK dilapangan, dan juga pelaksanaan yang belum efesin dari guru BK itu sendiri, tidak jelasnya program yang akan dijalankan, baik program harian, mingguan, bulanan maupun semesteran, walaupun dia dari tamatan BK itu sendiri.
3.        Masih belum disepakatinya penggunaan istilah Bimbingan dan Konseling itu sendiri, di Indonesia masih ada yang menggunakan istilah pelayanan BP, BK, dan konseling, dan ini juga mempengaruhi persepsi masyarakat tentang pelayanan yang dilakukan oleh petugas BK dilapangan.
Padahal Istilah “konseling” sebagai pengganti “bimbingan dan konseling” semakin menguat sejak digunakan istilah Konselor dalam UU No. 20/2003 tentang SPN, secara resmi istilah konseling telah digunakan dalam permendiknas no.22/2006 tentang Standarisasi Untuk Satuan Dasar Dan Menengah, Rumusan tentang Istilah “Bimbingan dan Konseling” dan istilah Konseling dapat dilihat sebagai berikut dalam SK Mendiknas no. 25/1995;
“Bimbingan dan Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mempu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pribadi, sosial, belajar dan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku”

Sedangkan Dalam Permendiknas No.22/2006:
“Konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik baik secara perorangan maupun kelompok, agar mempu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku”.
Walaupun pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru untuk memperkuat status BK di indonesia tentang istilah dan pelaksanaan BK, akan tetapi tetap saja belum semaksimal mungkin pelaksanaan BK dengan semestinya, ini sangat memprihatinkan sekali, padahal Guru BK bermanfaat sekali bagi perkembangan anak disekolah untuk menjadi lebih bagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar