Selasa, 15 Mei 2012

MASALAH KURIKULUM


BERBAGAI MASALAH KURIKULUM[1]

A.      Masalah Umum
Berbagai maslah yang termasuk dalam masalah umum dapat dikelompokkan menjadi delapan kelompok, yaitu Bidang Cakupan (scope), Relevansi, Keseimbangan, integrasi, Sekuens, Kontinuitas, Artikulasi, dan Kemampuan Transfer (Transfer Ability).

1.       Bidang Cakupan (Scope).
Scope atau bidang cakupan dapat didefinisikan sebagai “Luas” kurikulum, yang didalamnya mencakup berbagai topik, pengalaman belajar, aktivitas, pengintegrasian dan pengorganisasian berbagai elemen tersebut.

Untuk menetukan scope tersebut, para pengembang kurikulum dihadapkan pada sejumlah permasalahan berikut.
1.       Pengorganisasian Berbagai Elemen dan Hubungan Antar Elemen tersebut.
Menurut J. I. Goodlad, Scope adalah sebagai “the actual focal point for learaning through which the school’s objectives are to attained”. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa unsur-unsur scope merupakan hal-hal pokok (actual points) yang harus dipelajari siswa disekolah.

2.     Pesatnya Perkembangan IPTEK.
        Sebagai ujung tombak dari implementasi kurikulum, sudah sewajarnya guru terus mencermati keterbatasan materi pelajaran. Ini dikarenakan dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung terus berkembang dan meningkat sedemikian pesatnya.

3.       Penetapan Prosedur Tujuan.
Caswel dan Campbell (Olivia, 1992) mengingatkan bahwa prosedur tujuan bukan hanya menyangkut pengalaman belajar, topic, maupun organisasi dan hubungan antar elemen, tetapi juga menyangkut lima tahapan berikut.
a.       Penetapan tujuan yang inklusif;
b.       Tujuan umum tersebut harus dirumuskan lagi kedalam sejumlah pernyataan tujuan umum yang lebih “kecil”;
c.        Sejumlah pernyataan tersebut diterjemahkan kedalam tujuan institusional;
d.       Selanjutnya, tujuan institusional tersebut diuraikan kedalam tujuan per mata pelajaran (bidang studi); dan
e.       Masing-masing tujuan per mata pelajaran atau bidang studi tersebut harus diuraikan kedalam tujuan pembelajaran umum, yang selanjutnya dijabarkan lagi menjadi tujuan pembelajaran khusus per pokok bahasan, sengan ketentuan bahwa pernyataan tersebut dapat diukur.

4.       Pengambilan Keputusan.
Masalah lain yang dihadapi dalam penentuan scope kurikulum adalah pengambilan keputusan tentang jadi atau tidaknya scope tersebut ditetapkan sebagai cakupan sebuah kurikulum.

2.       Relevansi.
Relevansi atau kesesuaian merupakan masalah lain yang cukup esensial dan harus mendapatkan perhatian dalam pengembangan kurikulum.

3.       Keseimbangan.
Dalam sulitnya mendefinisikan kata balance atau keseimbangan, Olivia menunjukkan beberapa variable yang harus dipertimbangkan seperti :
1.       Kurikulum yang berpusat pada siswa (child-centered curriculum) dan kurikulum berpusat pada pelajaran (subject-centered curriculum);
2.       Kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat (needs assessments);
3.       Pendidikan umum dan pendidikan khusus;
4.       Luas dan dalamnya kurikulum;
5.       Tiga domain penting pendidikan (kognitif, afektif, dan psikomotorik);
6.       Pendidikan individual dan pendidikan masyarakat;
7.       Inovasi dan tradisi;
8.       Logis dan psikologis;
9.       Kebutuhan yang diharapkan dan tidak diharapkan siswa;
10.    Kebutuhan akademis yang diharapkan;
11.    Metode, pengalaman, dan strategi;
12.    Cepatnya perubahan dan pergantian waktu atau masa;
13.    Dunia kerja dan permainan;
14.    Sekolah dan masyarakat sebagai sumber daya dalam pendidikan;
15.    Disiplin kelembagaan;
16.    Tujuan kelembagaan; dan
17.    Disiplin ilmu.
4.       Integrasi.
Para pengembang kurikulum harus peduli terhadap masalah pengintegrasian mata pelajaran. Pengintegrasian berarti memadukan, menggabungkan, dan menyatukan antar disiplin ilmu.  Kurikulum adalah suatu hal yang terintegrasi. Kadar dan tingkat keintegrasian lebih ditentukan oleh dasar filosopi pengembang kurikulum, dibandingkan berdasarkan data empiris. Namun, karena tidak semua guru berpandangan demikian, dengan alasan bahwa terdapat beberapa pelajaran yang harus diajarkan terpisah (separated), maka kalangan progresif menawarkan agar para guru, sebagai pengembang kurikulum, memosisikan dirinya pada continuum (rangkaian) seperti yang ditampilkan pada gambar berikut.








Subjek
 

Kolerasi
 

Integrasi
 
 
 




Gambar
Kontinum Pendidikan

 



 

5.       Sekuens (Sequence).
Sekuens (Sequence) berarti susunan atau urutan pengelompokan kegiatan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan kurikulum. Bila scope mengacu pada “apa”, maka sekuens lebih mengacu pada “kapan” dan “dimana” pokok-pokok bahasan tersebut ditempatkan dan dilaksanakan. Berikut adalah langkah-langkah sekuens :
1.       Mulai dari yang paling sederhana menuju yang kompleks;
2.       Menuruti alur kronologis;
3.       Balikan dari alur kronologis;
4.       Mulai dari keadaan geografis yang dekat sampai ke yang jauh;
5.       Dari jauh menuju dekat;
6.       Dari kongkret ke abstrak;
7.       Dari umum menuju khusus; dan
8.       Dari khusus menuju umum.

6.       Kontinuitas.
Kontinuitas merupakan pengulangan terencana tentang isi (conten) untuk mencapai keberhasilan. Tyler mendeskripsikan kontinuitas sebagai pengulangan vertical dari elemen atau unsure kurikulum.

Pada dasarnya, prinsip kontinuitas menyerupai dengan apa yang disebut “Spiral curriculum”,  yaitu pengenalan konsep, keterampilan, dan pengetahuan secara berulang. Dalam permasalahan kontinuitas ini, dibutuhkan tingkat keahlian yang tinggi dari perencana kurikulum, baik menyangkut pengetahuan terhadap materi pelajaran (subject matter), maupun penmgetahuan tentang siswanya.

7.       Artikulasi.
Artikulasi diartikan sebagai pertautan antara kelompok elemen atau unsure lintas tingkatan sekolah. Contohnya dapat dilihat antara SD dan SLTP, SLTA dan SMA, serta antara SMA dan Perguruan Tinggi (PT), yang juga tidak lepas dalam dimensi sekuens seperti halnya kontinuitas.

Olover (Oliva, 1992) menjelaskan pengertian artikulasi sebagai “artikulasi horizontal” atau “kolerasi”, sedangkan kontinuitas sebagai “artikulasi vertical”. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa antara sekuens, kontinuitas, dan artikulasi terdapat kaitan satu dengan yang lainnya. Sekuens merupakan pengaturan unit-unit dan materi pelajaran secara logis dan kronologis menurut unit, lembaga dan tingkatannya. Kontinuitas merupakan rencana introduksi dan reintroduksi unit-unit materi yang sama diberbagi tingkatan dalam upaya meningkatkan pemahaman yang kompleks dan komprehensif. Adapun artikulasi merupakan rencana sekuens unit-unit materi pelajaran tersebut secara lintas tingkatan.

8.       Kemampuan Transfer (Transferability).
Segala hanl yang diberikan sekolah pada hakikatnya merupakan “proses pentransferan nilai”, maksudnya apapun yang dipelajari disekolah seharusnya harus dapat diaplikasikan diluar sekolah, saat siswa sudah menamatkan pendidkannya. Dengan demikian, proses pendidikan disekolah harus dapat memperkaya kehidupan siswa.


Para alhi pendidikan seperti Thorndike, Daniel dan L. N.. Tanner, serta Taba menyepakati bahwa jika guru hendak mentransfer nilai-nilai tersebut, maka terlebih dahulu harus diperhatikan prinsip-prinsip umum dari proses transfer yaitu :

1.       Transfer merupakan “hati nurani” pendidikan;
2.       Proses transfer memungkinkan untuk dilakukan;
3.       Proses transfer dimulai dari situasi yang lebih dekat, kesituasi luar kelas yang lebih jauh dan luas;
4.       Hasil transfer akan lebih bermakna (meaningful) jika guru membantu siswa dalam menderivasi, generalisasi, serta menetapkan generalisasi tersebut : dan
5.       Secara umum, dapat dikatakan bahwa ketika siswa memperoleh pengetahuan bagi dirinya, proses transfer tersebut telah berhasil.

B.      Beberapa Masalah Khusus
Dalam kaitannya dengan pengembangan kurukulum, beberapa masalah berikut perlu dipahami secara seksama.
1.       Berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan dan hasil-hasil kurikulum yang diharapkan oleh sekolah, seperti :
a.       Untuk siapa kurikulum itu disediakan.
b.       Apakah kurikulum tersebut bermaksud mendidik siswa agar mampu mengendalikan diri, atau agar mereka mampu mengikuti perubahan sosial.
c.        Apakah kurikulum bersifat mendoktrinasi sesuatu.
d.       Apakah kurikulum bermasuk mempersiapkan siswa bagi masa depannya, atau untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang dirasakan sekarang ini.
e.       Apakah kurikulum memberikan pelayanan terhadap masyarakat atau perorangan.

2.       Berbagai masalah yang berhubungan dengan isi dan organisasi kurikulum, yang terdiri atas :
a.       Ukuran yang digunakan dalam memilih bahan dan pengalaman-pengalaman kurikuler.
b.       Apakah kurikulum disusun berdasarkan mata pelajaran atau pengusahaan adanya korelasi.
c.        Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kurikulum tersebut.
d.       Jenis-jenis kegiatan dan pengalaman yang terdapat dalam kurikuler.
e.       Jenis kurikulum yang digunakan.


3.       Masalah yang berhubungan dengan proses penyusunan dan revisi kurikulum, seperti :
a.       Cara pengadaan artikulasi dan korelasi.
b.       Awal penyusunan dan perevisian kurikulum.
c.        Sumber-sumber informasi yang dapat dimanfaatkan untuk penyusunan kurikulum.
d.       Pihak yang dapat ikut berpartisipasi dalam perubahan dan penyusunan kurikulum.


C.      Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Dalam studi tentang ilmu mengajar dan kurikulum, pembahasan mengenai permasalahan yang dialami guru senantiasa mendapat tempat tersendiri. Ini dikarenakan guru mengemban peran yang sanagat penting dalam keberhasilan proses pendidikan. Bahkan, berdasarkan pandangan yang ada sekarang ini, betapapun bagus dan indahnya kurikulum, keberhasilan kurikulum tersebut pada akhirnya bergantung pada masing-masing guru.

Pengembangan kurikulum melibatkan banyak pihak, terutama guru yang bertugas dikelas. Setiap guru mengemban tanggung jawab secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pengadministrasian, dan perubahan kurikulum. Sejauh mana keterlibatan guru akn turut menentukan keberhasilan pengajaran disekolah.

Sejauh manakah peran guru dalam perencanaan kurikulum? Kurukulum disusun oleh suatu Lembaga tertentu(di Indonesia, kurukulum disusun oleh BP3K), yang umumnya dirancang oleh ahli kurikulum dengan bantuan ahli psikologi belajar dan ahli bidang studi.

Pada dasarnya, para guru itulah yang paling mengetahui berbagai masalah kurikulum yang tyelah dilaksanakan. Oleh sebab itu, berbagai saran mereka sangat diperlukan dalam perencanaan atau penyusunan kurikulum baru, tentu saja malalui prosedur langsung maupun tidak langsung.

Keberhasilan kurikulum sebagian besar terletak ditangan guru, selaku pelaksana kurikulum. Para guru bertanggung jawab sepenuhnya dalam pelaksanaan kurikulum, baik secara keseluruhan maupun sebagai tugas yang berupa penyampaian bidang studi atau mata pelajaran yang sesuai dengan program yang dirancang kurikulum. Untuk itu, guru harus berusaha agar penyampaian bahan-bahan pelajaran itu dapat berhasil secara maksimal.

Karena itu, peran guru adalah sebagai pengajar, pembimbing, manajer, maupun ilmuan yang dituntut mencurahkan segala kemampuannya sehingga pelaksanaan kurikulum tersebut dapat berhasil. Selain itu, setiap guru dituntut untuk memahami sebaik mungkin tujuan, isi dan organisasi serta system penyampaian, sehingga kualitas dan kuantitas hasil pengajaran yang diberikan mencapai target yang dikehendaki.

Bagaimanakah peran guru  sebagai pengelola kurikulum? Sebagai pengelola kurikulum, guru bertanggung jawab antara lain membuat perencanaan mengajar (rencana tahunan, rencana bulanan, rencana permulaan, mengajar dan rencana harian), baik dalam bentuk perencanaan unit maupun dalam pembuatan model satuan pelajaran. Selain itu, guru harus berusaha mengumpulkan dan mencari bahan dari berbagai sumber, menyediakan perlengkapan atau media pengajaran, mengadakan komunikasi dan konsultasi dengan berbagai Badan atau Institusi yang mungkin dapat membantunya dalam pelaksanaan kurikulum, mengumpulkan data tentang partisipasi murud dalam mengikuti pelajaran atau berbagai kegiatan  kulikuler lainnya, ikut serta  menyusun jadwal pelajaran dan mengikuti berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh Sekolah dan para Pengawas, serta membuat laporan tentang hasil kegiatan kurikulum yang telah dilakukan.

Peran apakah yang dapat dilakukan guru dalam perubahan kurikulum? Kurikulum merupakan bagian dari usaha pembaruan dalam usaha pendidikan. Oleh karena itu, proses perubahan pendidikan tersebut sudah tentu akan melibatkan banyak pihak.

Dalam rangka perubahan kurikulum, umumnya dilakukan terlebih dahulu penilaian terhadap kurikulum yang sedang berjalan, guna melihat berbagai keunggulan dan kelemahan yang ada, ditinjau dari berbagai aspek (Filosofis, Sosiologis, Psikologis, Metodologis, dan lain-lain). Berbagai saran dan pengalaman guru yang dianggap sangat berpengalaman sering diikutsertakan dalam Panitia Pembaharuan, bersama para Spesialis dan Pekabat berwenang yang ditunjuk oleh Departemen Pendidikan. Jadi jelaslah, keterlibatan guru dalam pengembangan kurikulum sangat diperlukan.




[1] Hamalik, Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007) bab 4 : hal. 41-54

TEORI BEHAVIORISME dan TEORI HUMANISTIK

1.Teori Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek–aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
 
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.

2. Teori Humanistik

Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dala pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik.
 
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
 
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
 
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih baik?
 
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi

HUBUNGAN AQIDAH ISLAM DAN AKHLAK

AKHLAK adalah tingkahlaku yang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang dan sikap yang menjadi sebahagian daripada keperibadiannya. Nilai-nilai dan sikap itu pula terpancar daripada konsepsi dan gambarannya terhadap hidup. Dengan perkataan lain, nilai-nilai dan sikap itu terpancar daripada aqidahnya yaitu gambaran tentang kehidupan yang dipegang dan diyakininya
Aqidah yang benar dan gambaran tentang kehidupan yang tepat dan tidak dipengaruhi oleh kepalsuan, khurafat dan falsafah-falsafah serta ajaran yang palsu, akan memancarkan nilai-nilai benar yang murni di dalam hati. Nilai-nilai ini akan mempengaruhi pembentukan sistem akhlak yang mulia. Sebaliknya, jika aqidah yang dianuti dibina di atas kepalsuan dan gambarannya mengenai hidup tak terarah dan dipengaruhi oleh berbagai-bagai fahaman palsu, ia akan memancarkan nilai-nilai buruk di dalam diri dan mempengaruhi pembentukan akhlak yang buruk.
Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kualitas individu dan masyarakat. lndividu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau bilau. Masyarakat kacau bilau, tidak mungkin dapat membantu perilaku yang murni dan luhur.
Sejarah membuktikan bahwa sekelompok masyarakat ingin kejayaan berawal daripada pembinaan sistem nilai yang kukuh yang dipengaruhi oleh unsur-unsur kebaikan yang terpancar daripada aqidah yang benar. Masyarakat itu runtuh dan perilakunya hancur disebabkan keruntuhan nilai-nilai dan akhlak yang terbentuk daripadanya. Justeru itu, akhlak mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan dan dalam memelihara kemuliaan insan serta keluhurannya. Martabat manusia akan menurun setaraf hewan sekiranya akhlak runtuh dan nilai-nilai murni tidak dihormati dan dihayati. Oleh kerana itu Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud:


“Sesungguhnya aku diutus untuk melengkapkan akhlak yang mulia.” (Riwayat al-Baihaqi)
Kepentingan akhlak dalam kehidupan dinyatakan dengan jelas dalam Al-Quran meneruskan berbagai pendekatan yang meletakkan Al-Quran sebagai sumber pengetahuan mengenai nilai dan akhlak yang paling terang dan jelas. Pendekatan Al-Quran dalam menerangkan akhlak yang mulia, bukan pendekatan teoritikal tetapi dalam bentuk konseptual dan penghayatan. Akhlak yang mulia dan akhlak yang buruk digambarkan dalam perwatakan manusia, dalam sejarah dan dalam realitas kehidupan manusia semasa Al-Quran diturunkan.
Al-Quran menggambarkan bagaimana aqidah orang-orang beriman, kelakuan mereka yang mulia dan gambaran kehidupan mereka yang penuh tertib, adil, luhur dan mulia. Berbanding dengan perwatakan orang-orang kafir dan munafiq yang jelek dan merusak. Gambaran mengenai akhlak mulia dan akhlak keji begitu jelas dalam perilaku manusia sepanjang sejarah. Al-Quran juga menggambarkan bagaimana perjuangan para rasul untuk menegakkan nilai-niiai mulia dan murni di dalam kehidupan dan bagaimana mereka ditentang oleh kefasikan, kekufuran dan kemunafikan yang mencoba menggagalkan tegaknya dengan kukuh akhlak yang mulia sebagai teras kehidupan yang luhur dan murni itu.

AQIDAH MENGAMBARKAN AKHLAK
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, nilai-nilai akhlak yang dipegang oleh seseorang dan sesuatu kebudayaan itu adalah hasil daripada aqidah dan gambaran tentang kehidupan itu. Pembentukan nilai-nilai akhlak itu bergantung kepada bagaimana manusia memberikan jawaban kepada pertanyaan-pertanyaan yang asasi dalam hidup. Al-Quran telah memaparkan berbagai golongan yang memberi jawaban berbeda kepada persoalan-persoalan asasi kehidupan yang membentuk konsepsi dan aqidah mengenai kehidupan ini. Terdapat aqidah orang-orang beriman, aqidah orang-orang kafir, aqidah orang-orang fasik dan aqidah orang-orang munafiqin.
Aqidah orang-orang beriman dinyatakan dalam Al-Quran sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah S.W.T, kepada Rasul-Nya, kepada keagungan Allah yang menciptakan dan memiliki alam ini. Mereka yakin kepada hari akhirat, yakin bahwa kejadian Allah tidak terbatas kepada alam lahir saja dan kejadian Allah itu tidak terbatas dalam lingkungan yang dapat diketahui oleh manusia. Kerana itu mereka percaya kepada kejadian Allah yang ghaib, seperti malaikat, syurga, neraka dan adanya makhluk-makhluk Allah yang lain yang tidak diketahui oleh manusia dan pengetahuan manusia tidak menjadi syarat bagi menentukan sesuatu kejadian Allah harus ada atau tidak ada. Allah S.W.T bebas mengikut kehendak-Nya, untuk mencipta atau tidak menciptakan sesuatu yang ada di dalam ilmu-Nya.
Aqidah ini menyebabkan orang-orang beriman sentiasa bergantung harap kepada Allah S.W.T dan tidak bergantung harap kepada yang lain daripada-Nya. Tujuan hidup manusia di dunia ini ialah untuk beribadah kepada Allah S.W.T. dan setiap tindak tanduk dan kelakuan serta tindakannya adalah untuk mendapatkan keridhoan Allah S.W.T. Keridhoan Allah dan beribadat kepada Allah S.W.T. menjadi tumpuan dan pemusatan setiap aspek kegiatannya. Pergantungan semata-mata kepada Allah memberikan kepada seorang mu’min itu kebebasan dan tidak terikat kepada mana-mana kuasa lain daripada Allah S.W.T. Daripada perasaan inilah tercetusnya pengakuan seorang muslim bahawa “Tiada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya melainkan Allah S.W.T.”
Manusia beriman yang sebenarnya, tidak mungkin menyembah kepada yang lain daripada Allah S.W.T., Allah S.W.T. bagi mereka adalah Tuhan Yang Maha Sempuma, Maha berkuasa dan kepada Dialah tumpuan segala ibadah dan segala yang baik sama ada niat dan amalan. Seorang mu’min berjiwa bebas, tetapi bukan sebagai debu berterbangan di udara. Kebebasan seorang mu’min sentiasa mendapat panduan dan bimbangan. Justeru itu ia tidak berkelana dan hidup tanpa tujuan. la sentiasa bergerak bebas dengan memiliki peta yang menunjukkan haluan pergerakan dan perjalanannya. la sentiasa bertindak mengikut petunjuk Allah dan berpandu kepadanya.
Seorang mu’min berperasaan halus dan berhati lembut kerana keyakinannya bahawa ia adalah hamba kepada Allah S.W.T. Segala perbuatannya akan dinilai dan dihitung serta diberikan balasan atau ganjaran dengan adil dan saksama. Wawasannya, tidak semata-mata untuk mendapatkan habuan dan ganjaran di dunia, tetapi juga di akhirat. Tentunya, ganjaran di akhirat adalah lebih baik dahapda di dunia. Kerana itu, ia sanggup mengorbankan kurniaan Allah di dunia, untuk mendapatkan kurniaan Allah di akhirat.


Aqidah dan pandangan hidup yang asas ini, memancarkan nilai-nilai yang murni dalam jiwa orang-orang beriman. Nilai-nilai ikhlas untuk Allah S.W.T. dan tidak tunduk beribadah melainkan kepada Allah S.W.T adalah merupakan nilai yang agung yang membentuk akhlak yang murni dan jiwa yang luhur dalam kehidupan orang-orang beriman. Ia membentuk akhlak terhadap Allah S.W.T. dan akhlak terhadap sesama manusia.
Hubungan manusia dengan Allah S.W.T dan kelakuannya terhadap Allah S.W.T. ditentukan mengikut nilai-nilai aqidah yang ditetapkan. Begitu juga akhlak terhadap manusia dicorakkan oleh nilai-nilai aqidah seorang muslim, sebagaimana yang ditetapkan didalam al-Ouran yang merupakan ajaran dan wahyu daripada Allah S.W.T Pergaulan manusia dengan manusia tidak boleh disamakan dengan perhubungan manusia dengan Allah S.W.T. Aqidah dan pegangan seorang beriman berbeda dengan aqidah dan pegangan seorang kafir. Justru itu nilai-nilai dan akhlak juga berbeda. Al-Quran memaparkan aqidah dan pegangan orang-orang kafir dalam berbagai kategori, justru terdapat berbagai bentuk kekufuran di kalangan umat manusia. Antara kekufuran yang belaku disebabkan mereka menolak ajaran yang benar yang dibawa oleh utusan Allah S.W.T. dan mereka menafikan kerasulan utusan itu. Allah S.W.T berfirman yang bermaksud:
“Maka berkata pembesar-pembesar yang kafir itu dari kalangan bangsanya, ini tidak lain daripada manusia seperti kamu. Ia hendak menonjolkan diri supaya lebih daripada kamu. Jika Allah hendak turunkan utusan, Dia akan turunkan malaikat Kita tidak mendengar dari bapa -bapa kita yang terdahulu mengenai ini (utusan Allah dari kalangan manusia). (al-Mu’minun: 24)
Kekufuran juga berlaku kerana tidak percaya pada hari akhirat. Kerana percaya bahwa tidak ada kehidupan sesudah mati, mereka hidup berfoya-foya di dunia ini tanpa memikirkan siksaan di akhirat. Bagi mereka seperti yang dinyatakan oleh al-Quran “kehidupan ini cuma di dunia”. Manusia dilahirkan dan kemudian mati, mereka tidak dibangkitkan kembali, seperti kata mereka yang bermaksud:
“Kehidupan kita tidak yang lain daripada kehidupan di dunia. Daripada tiada kita ada dan hidup. Apabila mati kita tidak dibangkitkan lagi.
Maksudnya: “Dan berkata pembesar-pembesar dari bangsanya yang kafir dan mendustakan kehidupan akhirat dan kamijadikan berfoya-foya dalam kehidupan mereka di dunia, orang ini, hanyalah seorang manusia seperti kamu. makan dari apa yang kamu makan dan minum dari apa yang kamu minum ‘. (al-Mu’minun: 33)
Kekufuran juga berlaku disebabkan sifat angkuh dan sombong serta ingkar kepada perintah Allah dan angkuh terhadapnya. Allah berfirman mengenai kekufuran Iblis yang bermaksud:
“Dan ketika kami berkata kepada malaikat sujudlah kepada Adam. Mereka pun sujud, kecuali lblis. la ingkar dan takabur dan ia daripada orang-orang kafir.” (al-Baqarah: 34)
Aqidah orang-orang kafir yang sombong terhadap Allah S.W.T, yang tidak percaya kepada para rasul yang diutus oleh Allah dan ajaran-ajaran yang mereka bawa, yang tidak percaya kepada hari akhirat dan tidak patuh kepada hukum-hukum Allah dengan ingkar kepada hukum-hukum itu, membentuk nilai-nilai kelakuan dan cara hidup yang menjurus ke arah kehidupan yang tidak berakhlak mulia dan luhur. Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud:
“Dan orang-orang yang kafir menikmati kesenangan didunia serta mereka makan minum sebagaimana binatang-binatang tenak makan minum, sedang nerakalah menjadi tempat tinggal mereka.”(Muhammad: 12)
Aqidah munafiqin, melahirkan sifat-sifat dan kelakuan-kelakuan keji yang mewaki akhlak yang buruk. Untuk menyembunyikan kekufuran, mereka berdusta, memutar belitkan kebenaran, memungkid janji dan mengkhianati amanah. Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud:
“Tiga perkara yang sesiapa yang mempunyainya di dalam diri maka ia adalah munafiq. Apabila bercakap ia dusta, apabila berjanji tidak dikotakan apabila diberi amanah ia khianat. (Riwayat Bukhari dan Muslim)


NILAI-NILAI MUTLAK DAN RELATIF
Selain daripada memaparkan konsep dan penghayatan akhlak secara konsepsi dan praktikal dan membedakan antara akhlak orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir berasaskan kepada perbedaan aqidah mereka, Al-Ouran menguraikan pengertian akhlak Islam yang didukung dan dihayati oleh orang-orang beriman. akhlak Islam dijelaskan berdasarkan kepada model insan mulia yang terdapat dalam diri Rasulullah s.a.w. yang telah merealisasikan pengertian akhlak Al-Quran dalam kehidupan yang realistik. Rasulullah s.a.w. dikatakan sebagai Al-Quran yang berjalan. Aishah ra. berkata ‘Adapun akhlak baginda ialah Al-Ouran’ Kerana itu nilai-nilai asas yang membentuk akhlak Islam ialah nilai-nilai mutlak.
Nilai-nilai asas ini, tidak bersifat relatif atau nisbi. Nilai-nilai asas yang membentuk akhlak Islam, tidak berubah-ubah mengikut zaman dan tempat. la tidak hanya baik pada masa yang lalu dan tidak baik untuk masa sekarang. Apa yang diperakukan oleh Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai baik, maka ia adalah baik untuk sepanjang zaman dan tempat. Apa yang dianggap tidak baik, maka ia adalah tidak baik untuk selama-lamanya. Apa yang baik adalah halal dan yang buruk dan tidak baik itu adalah haram. Perkara halal dan yang haram diterangkan dengan jelas. Nilai-nilai yang baik dan buruk diprogramkan ke dalam hukum-hukum yang menentukan sama ada sesuatu perkara itu boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, yang mesti dilakukan atau mesti dilakukan atau mesti ditinggalkan atau dijauhkan. Hukum-hukum itu ialah wajib, sunat, haram dan makruh. Perkara-perkara yang telah diprogramkan ke dalam hukum-hukum ini adalah mutlak sifatnya. Akan tetapi perkara-perkara yang termasuk dalam perkara harus adalah relatif sifatnya.
Nilai-nilai akhlak Islam, berbeda dengan nilai-nilai budaya Barat yang semata-mata bergantung kepada akal dalam menentukan nilai-nilai baik dan tidak baik. Kerana itu, kebanyakan nilai-nilai dalam budaya barat bersifat relatif. Pada hari ini ia difikirkan sebagai baik dan di masa yang lain ia ditolak sebagai baik. Begitu juga yang dipandang buruk pada hari ini, tidak lagi dianggap demikian pada masa yang lain. Homoseksual dan Lesbian, dahulu dianggap haram dan tidak baik. Sebaliknya hari ini perbuatan itu dihalalkan dan dibenarkan sebagai legal serta mendapat hak-hak dan perlindungan perundang-undanagan. Kenisbian nilai-nilai akhlak ini, menimbulkan huru hara nilai yang mengakibatkan kepincangan akhlak.
Rasulullah s.a.w., adalah contoh seorang hamba Allah yang bersyukur yaitu contoh berakhlak mulia dan tinggi dalam hubungan dengan Allah S.W.T. lni berasaskan kepada peribadahan yang dilakukannya dengan penuh ikhlas mengikut sistem peribadahan yang ditentukan oleh Allah S.W.T. Allah S.W.T berfirman yang bermaksud:
“Mereka tidak diperintahkan melainkan untuk beribadah kepada Allah dengan ikhlas serta mempunyai sistem agama.(al-Bayyinah: 5)
Orang-orang kafir musyrik yang beribadah kepada yang lain daripada Allah S.W.T. adalah manusia yang tidak berakhlak dan berperilaku biadab terhadap Allah S.W.T Abu Lahab, Firaun, Namrud dan lain-lain adalah contoh manusia yang tidak berakhlak dan biadab terhadap Allah S.W.T. Mereka takabur, angkuh dan sombong. Mereka melakukan kemungkaran, kezaliman dan kerusakan di bumi akibat daripada kesyirikan mereka terhadap Allah. Nilai-nilai syirik menjadikan mereka manusia yang tidak bermoral dan makhluk perusak yang meluas seperti di kalangan generasi baru masyarakat barat.

TELADAN AKHLAK AL-QURAN
Akhlak Rasulullah s.a.w. adalah teladan akhlak-akhlak mulia yang diurai dan dijelaskan dalam Al-Quran. Keterangan jelas mengenai konsep akhlak mulia dalam Al-Quran, bukan saja untuk difahami, tetapi untuk dilaksanakan. Contoh kepada penghayatan dan kaidah penghayatan itu ialah kehidupan Rasulullah s.a.w
Rasulullah s.a.w. seorang mu’min yang unggul. Seorang yang telah diasuh dan dipelihara akhlaknya oleh Allah S.W.T. untuk dipelihara akhlaknya oleh Allah S.W.T. untuk dijadikan seorang rasul dan contoh insan mulia yang menjadi panutan dan teladan sepanjang zaman. Rasulullah s.a.w. dan para sahabat adalah para hamba Allah S.W.T. yang tekun mengerjakan ibadat dan tunduk khusyu’ merendah diri kepada Allah S.W.T. takut dan mengharap kepada-Nya, bertawakal serta bersyukur kepada-Nya. Wajah mereka berbekas kesan daripada sujud.


Rasulullah s.a.w. paling banyak beribadah dan paling bertaqwa, tanpa melupakan tanggungjawab terhadap kewajiban manusia yang lain. isteri baginda Aishah heran karena baginda begitu tekun beribadah kepada Allah S.W.T. Pada suatu ketika ‘Aishah bertanya, mengapa baginda begitu tekun dan kuat beribadah, pada hal Allah S.W.T. sedia mengampuni dosa baginda yang terdahulu dan terkemudian. Rasulullah s.a.w. menjawab, yang bermaksud:
“Tidakkah aku ingin dirinya menjadi hamba yang bersyukur.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullah s.a.w. adalah contoh manusia yang bersyukur kepada Allah S.W.T. dan kesyukurannya itu dilafazkan seiring amalan ibadahnya kepada Allah S.W.T. Ditambahkan pula dengan ingatan yang tidak putus-putus terhadap Allah dan menjadikan seluruh kehidupannya dalam suasana beribadah kepada Allah S.W.T. semata-mata.
Beribadah dalam pengertian bersolat, berzikir, berpuasa dan amalan-amalan kerohanian yang lain dilakukan tanpa mengurangkan tanggungjawab dalam hubungan antara sesama manusia, seperti yang diperintahkan oleh Allah S.W.T. Allah S.W.T menekankan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia seperti yang dinyatakan-Nya dalam al-Ouran yang bermaksud:
“Mereka ditimpakan kehinaan di mana- saja mereka berada kecuali dengan adanya sebab dari Allah dan adanya sebab dari manusia”. (ali -lmran: 112)
Justru itu al-Quran menggariskan prinsip-prinsip bagi mewujudkan sistem yang mengatur hubungan dengan Allah S.W.T. menerusi ibadah dan taqwa serta sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Sistem ini menjamin jalinan hubungan yang berasaskan akhlak yang dapat membebaskan manusia dari kehinaan dan dapat meningkatkan martabat mereka menuju kemuliaan dan kehormatan.




AL-QURAN SUMBER AKHLAK MULIA
Al-Quran sumber bagi hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang menyusun tingkahlaku dan akhlak manusia. Al-Quran menentukan sesuatu yang halal dan haram, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Al-Quran menentukan bagaimana sepatutnya kelakuan manusia. Al-Quran juga menentukan perkara yang baik dan tidak baik. Justru itu al-Quran menjadi sumber yang menentukan akhlak dan nilai-nilai kehidupan ini. Al-Quran mengharamkan yang buruk dan keji serta melarang manusia melakukannya. Al-Quran melarang manusia minum arak, memakan riba, bersikap angkuh dan sombong terhadap Allah, satu-satu kaum menghina kaum yang lain. Al-Quran melarang fitnah dan pembunuhan.   Al-Quran juga melarang menyebarkan perbuatan-perbuatan keji. Al-Quran mengajak manusia supaya mentauhidkan Allah S.W.T., bertaqwa kepada-Nya, mempunyai sangkaan baik terhadap-Nya. Al-Quran juga mengajak manusia berfikir, cinta kepada kebenaran, bersedia menerima kebenaran. Malah mengajak manusia supaya berilmu dan berbudaya ilmu.
Al-Quran juga mengajak manusia supaya berhati lembut, berjiwa mulia, sabar, tekun, berjihad, menegakkan kebenaran dan kebaikan. Al-Quran mengajak manusia supaya bersatu padu, berkeluarga dan mengukuhkan hubungan silaturrahim. Jelaslah bahawa al-Ouran menjadi sumber nilai-nilai dan akhlak mulia. Penampilan akhlak mulia dalam al-Ouran, tidak bersifat teoritikal semata-mata, tetapi secara praktikal berdasarkan realita dalam sejarah manusia sepanjang zaman. Al-Quran adalah sumber yang kaya dan berkesan untuk manusia memahami akhlak mulia dan menghayatinya.


Dari uraian diatas dapat disimpilkan bahwa hubungan Aqidah Islam dan Akhlak ialah sama-sama mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan antara lain :
1.          Memelihara kemuliaan insane serta keluhurannya.
2.          Memancarkan nila-nilai yang murni dalam jiwa orang-orang yang beriman dan nilai-nilai ikhlas untuk Allah.
3.          Membentuk diri menjadi hamba Allah yang bersyukur dalam usaha pembentukan insan yang mulia yang diridhoi Allah.
4.          Menjamin jalinan hubungan yang berasaskan akhlak yang dapat membebaskan manusia dari kehinaan dan dapat meningkatkan martabat menuju kemuliaan dan kehormatan.
5.          Membina dan membentuk akhlak murni dikalangan orang-orang beriman dalam pergaulan antar sesama mereka.
6.          Memupuk perasaan kasih saying serta mengkukuhkan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.



http://ibnismail.wordpress.com/2008/02/27/al-quran-pembina-akhlak-mulia/